Seiring dengan itu berbagai kebijakan pembangunan pada satu sisi melahirkan “revolusi” dalam proses pembebasan tanah untuk kawasan pemukiman, kawasan industri, dan lain-lain. Akan tetapi pada sisi lain, distribusi kepemilikan lahan justru menampakan kesenjangan yang sangat tajam; keluarga-keluarga tani desa semakin berkurang yang memiliki lahan, dan lahan pertanian produktif pada gilirannya menjadi korban rebutan investor untuk kepentingan pembangunan industri pertanian padat modal dan pembangunan lainnya di luar sektor pertanian. Di pulau Jawa saja terjadi penyusutan lahan sawah seluas 0,68 % (1992) dibandingkan 1987, dan dalam kurun waktu tiga tahun (1991–1993) lahan sawah produktif yang beralih fungsi seluas 57.987,50 ha dan 16.452,30 ha untuk perumahan dan industri, 5.210,20 ha untuk perusahaan/perkebunan, dan 26.774,20 ha untuk peruntukan lainnya di luar sektor pertanian seperti misalnya, tempat rekreasi elistis lapangan golf, dan lain-lain (Lihat Tabel 1 & 2).
Celakanya di tengah-tengah krisis yang berkepanjangan sekarang ini perusahaan-perusahaan pemegang konsesi lahan tersebut seperti properti, misalnya, yang telah membebaskan lahan rontok satu persatu, dan pada gilirannya lahan-lahan yang telah dibebaskan dibiarkan terlantar. Diperkirakan sampai 1996 uang yang mengendap pada lahan perumahan yang belum dikembangkan mencapai Rp.16,8 triliun, yang diperoleh melalui perbankan dalam negeri, sindikasi bank-bank luar negeri, dan dari pasar uang dalam bentuk surat berharga yang berjangka waktu pendek (Darmaningtyas, Harian Ekonomi Neraca, 16 Desember 1997). Kredit macet pada sektor properti ini sampai Desember 1999 diperkirakan mencapai Rp.48,2 trilyun, jauh lebih besar dari periode yang sama tahun 1998 sebesar Rp.36,76 triliyun, dari keseluruhan kredit yang telah disalurkan perbankan Rp.70,5 triliyun (Panangian Simanungkalit, Kompas, 13 Maret 1999). Inilah sesungguhnya yang menjadi penyebab utama terjadinya bencana (krisis) di negeri ini, sekaligus membuktikan bahwa pembangunan di Indonesia selama ini telah gagal. Beranjak dari kondisi ini, pertanyaan penting yang perlu segera dijawab adalah; bagaimanakah kebijakan (politik) ini dapat dimaknai jika dihadapkan pada berjuta-juta petani yang nasibnya kini kian terpuruk ?
Perubahan fungsi lahan pertanian mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah keluarga petani yang berlahan sempit kurang dari 0,5 Ha, yaitu 51,55% (Lihat: Tabel 3), dan ini turut mempercepat proses terjadinya kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan temuan BPS (1993) keluarga petani miskin rata-rata hanya memiliki lahan 0,48 ha. Bersamaan dengan itu revolusi hijau yang melanda daerah pedesaan Jawa, disamping berhasil meningkatkan produksi pertanian, telah meminggirkan sejumlah besar tenaga kerja tradisional sektor pertanian. Dengan lahan yang sempit, bibit unggul yang sangat tergantung pada pupuk dan pestisida menyebabkan biaya produksi pertanian semakin tinggi. Erat kaitannya dengan itu “keluarga petani desa juga terhimpit dengan tiadanya kebebasan dalam menentukan jenis produk yang harus diusahakan; jenis padi ditentukan, diarahkan ‘serba seragam’, bahkan jenis pupuk pun ditentukan, dan mereka pun tidak bebas menentukan harga jual produknya. Lewat harga dikendalikan kekuasaan pihak luar, menyebabkan kesejahteraan keluarga-keluarga petani desa tidak banyak meningkat (JC. Tukiman Taruna, Media Indonesia 20 April 1993).
Kondisi ini sungguh menyedihkan dengan semakin meningkatnya industri pertanian -- perusahaan-perusahaan raksasa padat modal, berteknologi canggih milik negara dan swasta --- merambah daerah
pedesaan. Dalam rangka perluasan usaha dan upaya meningkatkan komoditi ekspor non-migas, kehadiran industri pertanian ini bukannya menolong untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga petani, tetapi justru “mendepak” petani dari lahan pertaniannya; kehidupan petani makin marjinal, terpuruk, dan desa dengan demikian telah kehilangan “roh”-nya, kehabisan daya dalam mempertahankan diri dari “serbuan” orde yang congkak. Di desa-desa “bergentayangan setan-setan kota” yang haus tanah, merampas tanah milik rakyat dengan dalih pemberdayaan, pemerataan pembangunan dan pengembangan desa, industrialisasi pertanian, penciptaan lapangan kerja, dan bermacam-macam yang lainnya.
Hal ini berarti dan menyebabkan banyak keluarga petani desa yang dipaksa keluar dari sektor pertanian, kemudian mereka berduyun-duyun meninggalkan desa menyerbu kota-kota besar (urbanisasi) dan memasuki sektor-sektor kehidupan yang sama sekali baru (alih profesi). Akibat arus urbanisasi ini proporsi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan meningkat pesat, dari 22% tahun 1980 meningkat menjadi 31% tahun 1990. Selama Pelita I-IV (antara 1971-1990) jumlah penduduk perkotaan meningkat dua kali lipat, 4,43% (Lihat: Tabel 4). Di Jakarta saja misalnya, berdasarkan data Dinas Kependudukan DKI Jakarta (1996), diperkirakan 1.000 orang pendatang baru setiap hari memasuki Jakarta. Alasannya, tiada lagi yang dapat mereka kerjakan di desa dan dalam benaknya hanya Jakarta yang bisa memberikan harapan, menjadi tumpuan untuk membangun hari depan bagi dirinya dan anak cucu (Kompas, 13 Agustus 1996). Sayangnya mereka masuk Jakarta tanpa bekal pendidikan dan keterampilan yang memadai, dengan demikian sulit bagi mereka memasuki sektor-sektor modern yang lebih mensyaratkan (ijazah) pendidikan formal dan koneksi. Dengan demikian terpaksa mereka harus “rela” menjadi buruh murah di pabrik-pabrik industri atau memasuki sektor-sektor informal, dan tinggal berdesak-desakan di kantong-kantong pemukiman kumuh kota.
Selain dari kebijakan pembangunan yang sangat urban bias, faktor lain yang mendorong tingginyya mobilitas penduduk desa-kota adalah kebijakan pembangunan pedesaan memang tidak bersahabat. Samalah halnya dengan (kebijakan) pembangunan perkotaan, pembangunan pedesaan pun tidak berpihak pada rakyat kecil. Di kota-kota mereka digusur, di desa-desa mereka “didepak” dari lahan pertaniannya --- yang menjadi satu-satunya tumpuan dan harapan hidupnya. Industrialisasi pertanian misalnya, hanya menguntungkan segelintir orang pemilik modal dan kekuasaan, dengan meminggirkan sejumlah besar petani kecil. Ironi, memang dan oleh karenanya selalu menimbulkan masalah, jika demikian adanya, kemanakah perbaikan ekonomi pedesaan ini harus diarahkan?
Sebagai negara agraris, sebagian besar rakyat (apalagi petani) sangat tergantung dengan tanah. Oleh karena itu, dalam rangka perbaikan ekonomi pertanian (pedesan) langkah pertama yang harus dilakukan adalah pembenahan politik pertanahan; yang mesti dilakukan adalah reforma agraria, pengaturan kembali hak penguasaan tanah agar tidak terjadi kesenjangan dalam kepemilikan dan penguasaan atas tanah; agar petani-petani desa memiliki tanah yang cukup untuk pengembangan ekonomisnya, menjajakan eksistensi dirinya, dan di sana pula mereka diharapkan menemukan jati dirinya secara utuh. Omong kosong berbicara peningkatan kesejahteraan keluarga petani, tetapi tidak menyentuh persoalan agraria.
Aksi-aksi pendudukan tanah terlantar milik penguasa dan penguasa oleh petani sekarang ini dengan demikian mesti dilegalkan, dengan upaya sertifikasi tanah secara massal. Karena terbukti, di tengah-tengah krisis berkepanjangan sekarang ini, hanya pada sektor pertanian kita berpaling, hanya sektor pertanian yang banyak menolong rakyat bangsa ini, hanya pertanian yang bisa menampung banyak tenaga kerja --- terutama yang dipecat dari pabrik-pabrik industri yang bangkrut, pabrik yang kita bangga-banggakan selama ini, program padat karya yang kini digalakan banyak bertumpu pada sektor pertanian ini.
Setelah pengaturan kembali masalah tanah dilakukan, langkah selanjutnya adalah membuka peluang dan mendorong rakyat (petani) untuk bertani produk-produk unggulan seperti kedelai, ketan, dsb, baik yang dilakukan secara individual maupun secara kolektif.
Daripada menghambur-hamburkan uang (rakyat) untuk membuat pesawat terbang, tetapi hanya laku di barter dengan ketan Thailand, daripada mengucurkan dana talangan membantu bank-bank konglomerat yang serakah dan tidak bertanggung jawab, daripada mengucurkan kredit milyaran dollar untuk perusaha-perusahaan properti, kemudian macet; kenapa tidak modal tersebut dipergunakan untuk memodali dan mendorong rakyat, petani, untuk bertani ketan dan kedelai, misalnya. Berapa juta penduduk negeri ini yang (akan) terserap tenaga kerjanya bila dibandingkan dengan industri pesawat terbang, yang hanya bisa menampung tenaga kerja ratusan atau ribuan saja, daripada membangun industri padat modal dengan komponen impor yang sangat tinggi, dibangun di atas fondasi yang rapuh, besar hanya karena fasilitas dan kemudahan (KKN) tetapi rentan terhadap gejolak, kenapa kita tidak membangun industri pertanian yang betul-betul merakyat, berbasiskan pada komunitas. Kita dorong rakyat untuk beternak sapi misalnya, agar ibu-ibu tidak menjerit karena harga susu melangit dan tidak terbeli. Dan masih banyak yang lainnya.
Dalam konteks itulah pengembangan ekonomi rakyat dan keberpihakan terhadap rakyat kecil khusunya petani baru bermakna dan diharapkan, tidak hanya menjadi jargon politik belaka. Apa yang tengah menimpa bangsa ini, seharusnya menjadi bahan refleksi, menjadi pelajaran berharga terutama bagi pengambil kebijakan negeri ini, selama ini kita telah melakukan kebijakan yang keliru. Kita telah mengabaikan arti pentingnya pembangunan ekonomi pertanian, sebagai basis sistem ekonomi nasional untuk memperkuat rakyat. Kini rakyat kecil-lah yang paling menderita.
Oleh karena itu agenda penting pembangunan kita ke depan adalah penataan kembali ekonomi pertanian dan pedesaan seperti dipaparkan di atas, yang sempat kita anak tirikan. Apa salahnya jika kita kembali ke desa-desa, membangun kembali basis pertanian (rakyat) sebagai sistem perekonomian nasional yang kokoh, kuat, dan tahan banting dari berbagai hantaman gejolak. Wallahu’alam….